Diana : “saya mau strawberry cheesecake, kamu mau apa?”
Chika menoleh kearah meja kue, dan menunjuk.
Chika : “Chocolate cake”.
Diana : dibawa ya mbak.
Pelayan langsung membungkus kue tersebut, setelah membayar Aku dan Chika pergi keluar dari toko kue.
Diana : “makan di rumah ku ya”
Chika mengangguk, kamipun berjalan dipinggir jalan sambil bergandengan tangan.
***
Setelah sampai di rumah, aku mempersiapkan meja taman belakang dan kami duduk berdua sambil menikmati kue yang kami beli.
Chika : “kenapa kamu pilih Strawberry cheesecake?”
Aku menjawab dengan mulut mengunyah sendokan pertama kue.
Diana : “karena hidup aku seperti kue ini, diluarnya nampak cantik, indah, hiasan yang menggiurkan, tapi ketika strawberry ini kamu gigit rasa asamnya terasa, dan jika kamu memakan kue ini dengan kondisi tidak dingin dia tidak akan enak dan tidak bisa tahan lama.. kamu kenapa suka coklat?”
Chika terdiam, wajahnya menunduk.
Chika : “karena nenekku suka coklat”
Aku terdiam lalu tersenyum sambil mengangguk. Aku memang baru mengenal Chika, dia anak baru dikantor ku. Aku melihat sosok Chika yang kurang bergaul, sering menunduk dan terlalu serius, aku mencoba mendekati Chika agar tahu latar belakangnya. Karena aku rasa kehidupan Chika sama seperti hidupku, tidak senormal kehidupan orang lain.
Aku berusaha menghibur Chika dengan beberapa lelucon yang ku ingat-ingat semasa sekolah, namun ketika kami tertawa lepas, tawa kami terhenti ketika Ayahku masuk kedalam rumah dengan merangkul seorang perempuan. Ayahku hanya menatapku sesaat dari kaca jendela dapur lalu pergi begitu saja. Aku menangkap air wajah Chika yang penuh dengan pertanyaan, aku hanya tersenyum sambil menawarkan minum, Chika hanya mengangguk sambil meminta air putih. Aku masuk kedalam rumah.
Didalam rumah, aku mendengar suara gelak tawa perempuan yang Ayahku bawa tadi, suara dari lantai atas itu terdengar sampai lantai dasar, aku hanya menghela nafas sambil menuang air putih kedalam 2 buah gelas.
***
kembali ditaman belakang…
Kini aku tengah mendengarkan cerita hidup seorang Chika, ia bercerita bahwa neneknya hidup bersamanya sejak orang tua Chika meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Namun bukan sekedar itu, Chika harus menghadapi kenyataan bahwa selama 15 tahun ini neneknya mengidap penyakit penurunan fungsi saraf otak, yang membuat neneknya merasa seperti anak remaja usia 17 tahun, dimana seakan neneknya sedang merasa jatuh cinta dan menganggap Chika adalah sahabatnya bukan cucunya. Setiap siang Chika harus menerima telepon dari neneknya yang selalu bilang bila dirinya sedang jatuh cinta. Dan dirumah Chika harus menghadapi neneknya yang seperti adiknya. Cerita terhenti ketika telepon genggam milik Chika berdering.
Chika : nenek.
Diana : besarkan suaranya, aku mau dengar.
Aku menyimak pembicaraan Chika dengan neneknya :
Nenek : Chika, kamu dimana? Aku bertemu dia hari ini, dia datang mengantarkan bunga, menemani aku berjalan di taman komplek dan dia mengajarkan aku naik sepeda.
Chika : aku masih dirumah temanku, sebentar lagi aku akan pulang.
Nenek : cepat kamu pulang, aku punya banyak cerita untukmu hari ini.
Dan Chika menutup teleponnya.
Chika : maaf ya Na, aku harus pulang.
Aku mengangguk mengerti, ku antar Chika sampai berjalan hilang di belokan jalan rumah.
***
aku membereskan piring dan gelas yang tadi ku pakai, manaruhnya kembali kedalam rak dengan rapi, tak lama Ayahku dan perempuan itu turun, Ayahku mengantarkan perempuan itu sampai depan pintu dan kemudian menutup pintu begitu saja. Aku menatap Ayah tajam, pikiranku penuh pertanyaan dan Ayah hanya bilang “sekertaris”, aku hanya membulatkan bibirku “ooh”.
***
Selama ini aku memang hidup dengan Ayahku, sejak Ibuku meninggal 5 tahun yang lalu, komunikasiku dan Ayah tidak pernah berjalan baik. Kami seperti orang asing yang hanya mengenal sebatas nama, dan jabatan. Bisa dikatakan kami tak seperti layaknya Ayah dan Anak, aku selalu bertengkar dengan ayahku saat aku tahu bahwa Ayahku menjadi suka minum dan banyak bermain dengan banyak wanita. Itu yang tidak dapat aku terima, Ayah berubah setelah Ibu pergi. Bagiku ini tidak masuk akal, aku selalu berusaha bicara padanya tapi Ayah sangat menutup rapat-rapat mulutnya, baru ditahun ini ia agak sedikit bicara walaupun hanya sepatah atau dua kata.
Sempat aku bertengkar hebat dengan Ayahku, saat itu ulang tahunku, Ayah tidak mengucapkan apapun padaku, Ayah hanya menatapku lalu pergi meninggalkan rumah selama seminggu, setelah aku tahu ia pergi bersama banyak wanita, aku marah luar biasa, aku sangat kecewa dengan apa yang beliau lakukan.
***
Saat ini aku duduk berhadapan dengan Ayahku di ruang tengah, Ayah memberikan aku sebuah amplop. Dan aku membukanya.
Diana,
Maaf hanya bisa dengan surat ini Ayah menjelaskan semua yang terjadi.
Kemudian Ayah memberikan amplop lainnya.
Dear Diana,
Ayah tahu lima tahun belakangan ini kau sangat kesepian tanpa hadirnya seorang ibu, Ayah masih ingat jelas pertengkaran hebat dimana kamu memarahi Ayah karena Ayah bermain dengan banyak perempuan. Ayah tahu telah banyak melakukan kesalahan, tetapi kamu perlu tahu.. Ibumu tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, sebelum Ibumu meninggal kenyataan pahit yang harus Ayah dapati adalah Ibumu meninggal dalam kecelakaan bersama kekasihnya. Mungkin kamu ingat seorang pria paruh baya yang ada saat Ibumu meninggal, dikamar rawat.
Aku mencoba mengingatnya,.. benar! .. Ayah benar! Aku ingat, seorang pria berusia sama seperti Ayahku menemani Ibuku sebelum aku dan Ayah sampai di rumah sakit, dan sebelum meninggal Ibu menggenggam tanganku sambil berucap “maafkan Ibu, tolong jaga Ayahmu”.
Jika kau sudah mengingatnya, apa kau bisa merasakan apa yang Ayah rasakan saat ini? Ayah tidak melakukan hal yang macam-macam dengan perempuan yang selama ini bersama Ayah, Ayah hanya ingin mencari pengganti Ibumu, Ayah hanya ingin berusaha yang terbaik untukmu, tetapi Ayah salah. Apa yang Ayah lakukan tidak pada tempatnya. Dan sekarang Ayah menyesal, Ayah sempat tidur dengan satu perempuan dan perempuan itu bukan perempuan baik. Jika kamu melihat perubahan pada tubuh Ayah, saat ini kau harus tahu bahwa Ayah sakit. Dan Ayah sangat menyesal, Ayah mohon.. maafkan Ayah.
Tulisan dalam surat terhenti, Aku terdiam memikirkan maksud Ayah, Ayah memberikan aku amplop selanjutnya, Amplop yang berbeda dengan amplop sebelumnya. Dan sangat terkejut saat aku membaca bahwa itu adalah surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa Ayah menderita “AIDS”. Aku menatap Ayah, airmataku berjatuhan tak dapat kutahan, kubuang semua surat dan aku berlari keluar rumah.
***
Aku berlari disepanjang jalan, menahan isak tangis yang membuat nafasku tak menentu. Entah harus kemana aku berlari, aku hanya membutuhkan tempat yang tenang untuk sesaat menenangkan fikiranku.
***
aku telah sampai didepan rumah Chika, aku melihat wajah Chika yang bertanya-tanya menatap wajahku yang tentunya tidak karuan. Aku juga melihat Neneknya yang sedang sumringah menatap setangkai bunga di tangannya, aku mencoba menyapa Nenek tetapi tak ada jawaban.
Kepada Chika aku tak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, karena Chika terlalu sibuk mengurus neneknya yang menurutku tepat seperti orang yang memiliki gangguan jiwa, tapi aku melihat wajah Chika yang menemani Neneknya tanpa beban, Chika ikut tertawa, ikut menari bahkan mendengarkan cerita neneknya tanpa lelah.
Apa yang Chika lakukan pada Neneknya seharusnya apa yang aku lakukan pada Ayah, aku terdiam menatap pandangan yang membuat mataku kembali berair, pandangan yang merubah fikiranku, dan saat itu aku hanya memeluk Chika dan pamit untuk kembali pulang.
***
Sesampainya dirumah aku melihat Ayahku sudah didepan pagar dengan beberapa tas ditangannya.
Diana : Ayah mau kemana?
Toni : Ayah akan pergi, agar kamu tidak tertular. Maafkan Ayah.
Diana : Ayah pergi begitu saja meninggalkan Ana? Tidak merasa bersalah?
Ayah hanya terdiam, aku berlari memeluk Ayahku.
Diana : Ana yang seharusnya minta maaf sama ayah, seharusnya Ana bertanya pada ayah baik-baik, bukan langsung marah dan menuduh ayah. Dan ayah, Ana tidak ingin ayah pergi, karena penyakit ayah tidak membuat Ana menghindari ayah, walaupun kita tetap harus menjaganya, tapi Ayah tidak akan pernah tergantikan, biarkan Ana merawat ayah, dan janji sama Ana ayah tidak berhubungan dengan wanita manapun lagi.
Ayah tersenyum padaku dan mengangguk.
Toni : Ayah janji.
Aku memeluk Ayahku dengan erat.
***
Ayah meninggal pada usia 72 tahun, dimana tubuhnya terlihat sangat kurus namun kulitnya tetap terawat, begitupun dengan Nenek Chika, beliau wafat terlebih dahulu. Dan kini aku dan Chika membuka Rumah sakit untuk membantu para pasien penderita penyakit yang memerlukan bantuan dan perhatian ekstra.